Ada 7 cara untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu:
Pertama, mencari rezeki yang halal. Mencari rezeki yang halal akan mengantarkan kita pada keberkahan, dan keberkahan akan membawa kita pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dunia, rezeki halal jelas bersihnya dari kecurangan dan kezaliman kepada pihak lain sehingga di akhirat pun akan selamat, tidak dihisab (diperiksa) secara ketat. Rezeki halal yang dikonsumsi oleh tubuh kita juga akan membentuk darah, tulang, dan daging yang baik dan berkah sehingga memproduksi energi dan emosi yang positif.
Kedua, bersikap qanaah. Qanaah artinya menerima apa pun pemberian Allah, baik terkait kondisi tubuh dan paras kita (ganteng/cantik, biasa, jelek) maupun ketentuan Allah Swt. tentang umur, jodoh, rezeki, pasangan hidup, dan keturunan kita. Sikap qanaah akan membawa kita pada rasa nyaman, puas, dan bahagia. Sebaliknya, sikap tidak qanaah akan membawa kita pada perasaan tidak puas, rakus, dan serakah. Akibatnya, nuansa batin akan mudah gelisah dan ingin menuntut yang lebih.
Ketiga, bersikap ikhlas. Ikhlas artinya sikap tulus (murni) ketika berurusan dengan pihak lain. Nabi Saw. pernah menyebut seorang sahabat yang diprediksi sebagai ahli surga. Setelah diselidiki selama tiga hari tiga malam, sahabat itu ternyata minim amalan salat malam dan puasa sunnah. Namun, ia memiliki hati yang sangat ikhlas. Sebelum tidur, ia selalu ikhlaskan apa saja perlakuan orang lain kepada dirinya, hingga ia tak pernah menyimpan dendam (kenangan pahit). Dari sini, keikhlasan membawa kebahagian di dunia dan di akhirat.
Keempat, menguatkan takwa. Takwa adalah kunci surga. Orang yang bertakwa akan diberi kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bila ia menghadapi masalah pelik, Allah Swt. pasti akan memberinya solusi. Bila ia kesulitan ekonomi, Allah pasti akan memberi rezeki yang datang secara tidak terduga (QS Al-Thalaq: 2-3). Orang yang bertakwa juga pasti disediakan surga yang sangat luas (QS Ali Imran: 133).
Kelima, selalu bersabar. Orang yang selalu bersabar akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Ali bin Abi Thalib, ketika bersabar menghadapi ujian (musibah), kita akan diberi 100 derajat kemuliaan. Ketika bersabar melaksanakan ketaatan, kita akan ditambah lagi 100 derajat. Ketika bersabar meninggalkan kemungkaran, kita akan ditambah lagi 100 derajat. Yang pasti, Allah Swt. bersama (menolong) orang-orang yang bersabar (QS Al-Anfal: 46). Jadi, orang yang sabar pasti bahagia.
Keenam, selalu bersyukur. Orang yang selalu bersyukur niscaya hidupnya akan berkah dan bahagia. Syukur, artinya: berterima kasih kepada Allah Swt. atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Bersyukur dapat dilakukan dengan meningkatkan ibadah wajib atau ibadah sunah, seperti bersedekah, menyantuni anak yatim, dan membantu fakir miskin. Bersyukur akan membawa hidup semakin berkah dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketujuh, selalu berzikir.Orang yang selalu berzikir akan mencapai kedamaian batiniah dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti dinyatakan dalam QS Ar-Ra’d: 28, hanya dengan berzikir kepada Allah, hati kita akan mencapai ketenangan (kebahagiaan). Ketika hati selalu berzikir, ia akan menuju kondisi aktif dan pasif. Aktif, artinya: hati kita akan mendekati Allah. Pasif, artinya: hati kita akan didekati oleh cahaya (ilmu) Allah. Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Orang yang bahagia (as-sa‘iid) ialah yang hatinya selalu mendekati Allah, sedangkan orang yang paling bahagia (al-as‘ad) ialah orang yang hatinya selalu didekati oleh (cahaya) Allah.”
Sesungguhnya ilmu
adalah perkara yang paling utama untuk diminta oleh seorang hamba. Telah
diketahui bahwa meraih kebahagiaan yang tiada terputus adalah perkara yang
sangat penting. Sementara manusia diciptakan untuk hidup di dunia. Dan tidak
mungkin mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, kecuali dengan menaati
Allah dan ittiba’/ mengikuti petunjuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan hal ini tidak bisa
tercapai, kecuali dengan landasan ilmu. Sebagaimana firman Allah,
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَاۤ
إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ
“Maka, ketahuilah bahwa tidak ada ilah/ sesembahan yang benar,
selain Allah. Maka, minta ampunlah atas dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Allah memulai dengan
ilmu karena istigfar ini sejatinya mencakup segala bentuk amalan. Allah
meletakkan (perintah) istigfar setelah (perintah) berilmu. Oleh sebab itu, Imam
Bukhari rahimahullah membuat bab tentang ayat ini dalam kitab Sahih-nya dengan
mengatakan, “Bab ilmu sebelum ucapan dan amalan berdasarkan firman Allah…”
(lalu beliau membawakan ayat ini). Sesungguhnya ini perkara yang nyata dan
jelas. Allah Ta’ala mengutus para rasul dengan membawa ilmu yang
diwahyukan kepada mereka.
Dan tidak ada
kebahagiaan bagi seseorang, kecuali dengan ittiba‘ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena sesungguhnya kebahagiaan bukanlah dengan menggapai
berbagai kesenangan dunia, atau menggapai kedudukan (jabatan), harta, syahwat,
dan lain sebagainya. Ini semua akan sirna. Seolah-olah ia tidak pernah ada
sebelumnya.
Sesungguhnya
kebahagiaan sejati adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Pertama, manusia
akan bahagia di dunia dalam bentuk merasakan kelezatan dan ketentraman dalam
hubungannya (ibadah) dengan Allah dengan rasa tunduk, rasa takut, rasa harap,
dan inabah. Sehingga hatinya pun menjadi hidup dengan
kehidupan yang hakiki.
Oleh karena itu, para
sahabat -semoga Allah meridai mereka- apabila mendengar suatu kalimat (nasihat)
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kalimat itu memberikan bekas dalam
kehidupan, amal, dan jalan hidup mereka.
Mereka mempelajari
ilmu dan amal sekaligus. Karena mereka adalah orang Arab dan wahyu turun dengan
bahasa mereka (bahasa Arab). Sehingga, cukup bagi mereka hanya dengan mendengar
kalimat (nasihat itu), mereka bisa memahami dan mengerti apa yang ditunjukkan
olehnya (kandungannya). Karena itulah, mereka menjadi sosok para pengemban ilmu
yang mumpuni -semoga Allah meridai mereka-.