Notification

×

Iklan

Post ADS 1

HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN ISLAM

21 Mar 2023 | 3/21/2023 WIB Last Updated 2023-03-21T16:49:06Z
Post ADS 7
Post ADS 1


Meminta-minta sumbangan atau mengemis tidak disyari’atkan dalam agama Islam, apalagi jika dilakukan dengan cara menipu atau berdusta dengan cara menampakkan dirinya seakan-akan dalam kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan haramnya mengemis dan meminta-minta sumbangan, dan bahkan ini termasuk dosa besar adalah sebagaimana berikut :


1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ


Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya. [3]


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ


Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api (neraka), maka (jika dia mau) silahkan dia mempersedikit atau memperbanyak.[4]


2. Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junâdah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ


Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.[5]


Demikianlah beberapa dalil dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengharamkan mengemis atau meminta-minta sumbangan untuk kepentinagn pribadi atau keluarga.


KAPANKAH DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA SUMBANGAN DAN MENGEMIS?


Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ada beberapa keadaan yang membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta. Di antaranya ialah sebagaimana berikut :


1. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.


2. Ketika seseorang ditimpa musibah yang melenyapkan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.


3. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat dan dia memiliki 3 orang saksi dari orang sekitarnya atas kefakiran yang menimpanya. Orang seperti ini, halal baginya meminta-minta sampai dia mendapatkan penopang hidupannya.

Dalam tiga keadaan ini seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan atau mengemis, berdasarkan hadits riwayat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu anhu , ia berkata :

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.


“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia bisa melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.


Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Wahai Qabishah ! Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[6]


Ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum Muslimin, bukan kepentingan pribadi, maka ini juga termasuk tasawwul (mengemis dan meminta-minta sumbangan) yang diperbolehkan dalam Islam meskipun dia orang kaya. Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan bahwa meminta sumbangan untuk kepentingan agama dan kemaslahatan kaum Muslimin itu diperbolehkan adalah pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para pemimpin perang sebelum berangkat, yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ


Jika mereka (orang-orang kafir yang diperangi, pent) tidak mau masuk Islam maka mintalah al-jizyah (pajak) dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen) mereka ! Jika mereka tidak mau menyerahkan al-jizyah maka mintalah pertolongan kepada Allâh k dan perangilah mereka ![7]


Dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa meminta al-jizyah dari orang-orang kafir tidak termasuk tasawwul (mengemis atau meminta-minta yang dilarang) karena al-jizyah bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kaum Muslimin. Termasuk dalam pengertian meminta bantuan untuk kepentingan kaum Muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar. Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu berkata :


بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ n إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang wanita, “Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!”[8] Al-Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata : Bab Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid”.[9]


Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang bolehnya meminta bantuan kepada ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya menyeluruh untuk kaum Muslimin. Dan orang-orang yang bergegas melakukannya adalah (orang yang berhak mendapatkan) penghargaan atas usahanya”.[10]


Dengan demikian, kita boleh mengatakan, “Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!” atau meminta sumbangan kepada kaum Muslimin yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya. Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah ditanya: “Bolehkah meminta bantuan dari seorang Muslim untuk membangun masjid atau madrasah (sekolah), apa dalilnya ?” Jawab : “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong -menolong dalam hal kebaikan dan taqwa. Allâh l berfirman (yang artinya), “ Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” [al-Maidah/5:2][11]


BEKERJA KERAS ADALAH SOLUSI DARI MENGEMIS ATAU MEINTA-MINTA


Islam menganjurkan kita semua agar berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga kita. Dalam al-Quran al-karîm Allâh berfirman :


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Apabila telah shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allâh”. [al-Jumu’ah/62:10]. Bekerja mencari nafkah bukan hanya pekerjaan masyarakat awam, akan tetapi para Nabi juga bekerja. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : «


مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ » . فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ « نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ »


Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembala kambing”, lalu ada sahabat bertanya, “Apakah engkau juga ?”, beliau menjawab, “Ya, dahulu saya menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan mendapatkan upah beberapa qirath”. [12]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا Nabi Zakariya adalah tukang kayu[13]. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


: وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


Nabi Dawud tidak makan melainkan dari hasil kerjanya sendiri.[14]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ


Sungguh salah seorang di antara kamu mencari kayu bakar diikat, lalu diangkat di atas punggungnya lalu dijual, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, diberi atau ditolak”.[15]


Orang yang mau bekerja, berarti dia menghormati dirinya dan agamanya. Jika mendapatkan rezeki melebihi kebutuhkannya, maka dia mampu mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan membantu orang lain.


BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP PENGEMIS?


Meskipun hukum mengemis pada dasarnya dilarang dalam Islam, akan tetapi kita juga tidak boleh menyamaratakan semua peminta-minta. Kita tidak boleh menuduh mereka macam-macam, karena hal itu termasuk berburuk sangka tanpa alasan. Seharusnya kita bersyukur kepada Allâh k yang telah menjaga kita dari perbuatan meminta-minta. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ


“Dan terhadap orang yang meminta-minta makan janganlah kamu menghardiknya”. [ad-Dhuha/93:10]


Ayat ini bersifat umum mencakup semua peminta-minta (pengemis dan yang semisal), kecuali jika kita tahu pasti bahwa dia adalah orang jahat. Adapun tentang hadits yang Artinya: Setiap peminta-minta punya hak ( untuk diberi ) walaupun ia datang dengan mengendarai kuda,” adalah hadits dhaif (lemah) sebagaimana dinyatakan Syaikh al-Albâni.[16]


,(3) Hr Bukhari dan Muslim no. 1040.

[4]. Shahih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163.

[5]. HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Ath-Thabrani IV/15 no.3506.

[6]. Shahîh. HR Muslim II/722 no.1044), Abu Dâwud I/515 no.1640, Ahmad III/477 no.15957, V/60 no.20620, dan an-Nasâ`i V/89 no.2580.

[7]. Shahih. HR. Muslim III/1356 no.1731, Abu Dawud II/43 no.2612, Ahmad V/358 no.23080.

[8]. Shahih. HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801

. [9]. Shahih al-Bukhari I/172.

[10]. Lihat Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari II/100.

[11]. Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah (6/242) [12]. Shahih. HR. Bukhari II/789, dari Abu Hurairah z

. [13]. Shahih. HR. Muslim IV/1847 no.2379.

[14]. Shahih. HR. Bukhari II/13074. [15]. Shahih. HR. Bukhari II/730 no.1968, dan an-Nasa’i V/93 no.2584. [16]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 1378. Home /Aktual : Rizqi &.../Mengemis Dan Meminta Sumbangan...

almanhaj.or.i

×
Berita Terbaru Update